"Karena mimpi hanya sekadar bunga tidur bagi mereka yang enggan mencari maknanya"
- Heizyi -
Bepergian bersama Nia, adalah hal yang lumrah bagiku. Berdua, bersama, kapan saja.
Kala itu, aku mengajak Nia seperti... ke sebuah rumah makan berlantai dua. Berdekorasi vintage. Dinding, lantai, langit-langit dan tangga nya terbuat dari bambu yang di cat cokelat tua.
Aku memilih tempat duduk di ujung dekat dinding yang berbatasan dengan tangga. Suasana nya ramai seperti rumah makan pada umumnya. Namun entah kenapa, seperti terasa sepi-- menurutku.
Makanan yang kami pesan datang tidak begitu lama. Seperti biasa, aku menyuapi Nia terlebih dahulu setelah mencicipi jika makanannya tidak panas maupun pedas.
Saat suapan kedua atau ketiga-- aku lupa. Aku menemukan wajah yang tak asing itu sedang menatapku dari kejauhan. Tatapan kami sempat bertemu beberapa detik hingga aku memalingkan wajah ke arah lain, memastikan bahwa penglihatanku tidaklah salah.
Benar saja!
Wajah itu masih sama tirusnya seperti sembilan tahun lalu. Warna kulitnya masih tampak kecoklatan khas orang yang suka bepergian karena terkena sinar matahari.
Sejenak aku berpikir.
Aku perlu distraksi untuk menghalau jantung yang bertalu dengan kencang.
Beranjak dari bangku, aku mengajak Nia ke toilet.
Karena kami hanya berdua, aku pasti mengajaknya ikut serta dimanapun aku berada.
Menuruni anak tangga secara perlahan. Aku takut. Takut terjatuh karena limbung jika tidak berhati-hati. Bahkan waktu terasa melambat padahal langkahku sudah lumayan cepat.
Tempat ini begitu riuh, namun tak ada yang menyadari dengan kegamangan langkahku. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sampai aku sadar, ada langkah kaki yang mencoba mendekat di belakangku. Walau aku tahu dia sengaja menjaga jarak, namun rasa penasaran yang muncul membuat otakku memerintah pada langkah kaki supaya berhenti.
Diam sejenak.
Berpikir; menoleh atau mengabaikan.
Kemudian mengambil napas dalam. Lalu memutuskan menangkap wajah pemilik langkah misterius itu.
Oh Tuhan... wajah yang sangat ku rindukan, raja di hatiku-- kini berada dalam jarak sedekat ini denganku. Kakiku rasanya seperti jeli, mukaku seakan terbakar matahari; panas dan dadaku sesak tak karuan.
Tapi, kenapa ada pancaran kesedihan di wajah manisnya itu. Bibirnya yang pandai tersenyum pun ikut-ikut tak bereaksi sama sekali. Rapat tak bergeming. Seolah takut aku akan lumpuh hanya dengan mendengar suaranya. Padahal tanpa banyak bertingkah pun, aku sudah mati rasa di buatnya.
Ah, jadi bingung mau bertindak seperti apa.
Pada akhirnya, kami hanya mematung di tempat masing-masing. Berusaha mencerna keadaan, mencoba menangkap pesan malam, sayangnya, tak satupun yang kami terima. Kecuali kilauan besi dari pagar tinggi diantara kami yang terkena sinar lampu ruangan vintage ini.
Ketika semua semakin terasa nyata.
Ketika kesadaranku mulai terasa.
Bibirnya sedikit terbuka seperti hendak menyuarakan tanya.
Dan saat itu pula, jiwaku dikembalikan diatas kasur.
Pukul dua pagi.
Mengusap wajah frustasi, aku mengamati sekeliling. Kamarku. Ternyata itu hanya mimpi!
***
Entah apa yang ingin di sampaikan malam dalam temaram kali ini.
Kucoba perjelas mimpi tadi. Berusaha mencari jawaban atas kegundahan hati.
Namun ada satu pertanyaan yang selalu kuulang berkali-kali. Kutanyakan pada diriku sendiri juga pada ratusan rukuk dan sujud diatas sajadah diantara pukul dua dan tiga pagi.
"Mengapa jika hatiku mantap melangkah, wajahnya malah semakin akrab dalam mimpi-mimpi.
Apa yang sebenarnya terjadi, Tuhan?
Ada apa dengan hatiku ini?
Ataukah ini hanya pertunjukan malam supaya tidurku tak lagi kesepian?
Jangan bilang... dia berniat kembali tapi belum berani."
Ditulis Oleh Heizyi pada 10 Maret 2019
nice, salam pagi
ReplyDeletesalam semangat mbak Tira
DeleteWah, ketemu rekan pecinta fiksi juga nih gara-gara BW .
ReplyDeleteKeren euy, bikin baper.
Kalo ada akun Wattpad, boleh lah saling follow ke akun saya Lasmicika1911, hehe.
hihiihi... salam kenal mbak ^^ udah aku folllow ya akun watty nya :)
DeleteTolong kalau mau kembali beranikan diri😭jangan berdiri di tengah2 tapi tak mau mendekat😭
ReplyDelete